Rabu, 09 April 2014

Tinjauan buku Sejarah

TINJAUAN BUKU “SEJARAH PERKEBUNAN DI INDONESIA: KAJIAN SOSIAL EKONOMI”

sumber: http://merahputihku-tuminah.blogspot.com/2012/08/tinjauan-buku-sejarah-perkebunan-di.h

Deskripsi Buku

Judul                            : Sejarah Perkebunan Indonesia: Kajian Sosial – Ekonomi
Pengarang                   : Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan Dr. Djoko Suryo
Jumlah Halaman          : xxii +187 hlm
Penerbit                       : Penerbit Aditya Media – Yogyakarta
Tahun Terbit                : 1991

A.    Pendahuluan
Buku berjudul Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo merupakan salah satu buku yang membahas sejarah perekonomian di Indonesia yang ditulis dengan pendekatan sosio kultural.
Dalam buku ini membahas secara gamblang mengenai perkebunan Indonesia sejak masa pra-kolonial sebagai masa sebelum datangnya bangsa Barat ke Nusantara hingga masa pemerintahan Orde Baru dimana geliat perkebunan mulai terlihat kembali setelah sebelumnya terjadi penurunan yang sangat tajam. Dalam penulisan buku ini, penulis menggunakan pendekatan sosio kultural. Pendekatan ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana kehidupan para pekerja, oraganisasi dan hubungan antara pemilik tanah dan taun-tuan tanah  di tanah perkebunan.
Buku Sejarah Perkebunan Indonesia ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian pertama dan bagian kedua. Bagian pertama disusun oleh Djoko Suryo, sedangkan bagian kedua disusun oleh Sartono Kartodirdjo kecuai bab XII yang disusun oleh Djoko Suryo.
Pada bagian pertama buku ini berisi lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang menjelaskan tentang kolonialisme serta pengaruh kolonialisme terhadap modernisasi yang terjadi di Indoensia. Bab II berisi tentang Masa Prakolonial yang menjelaskan tentang sistem perkebunan pada masa tradisional dimana terjadi perpindahan dari sistem perladangan ke sistem kebun dan menjadikan tanaman kebun  sebagai komoditi perdagangan. Bab III berisi tentang perkebunan pada masa VOC yaitu tahun 1600-1800 dimana pada bab ini dijelaskan politik perdagangan VOC, Sistem leveransi wajib dan kontingensi,Priangan Stelsel dan perkebunan Tebu di desa persewaan. Bab III berisi tetang perkembangan perkebunan pada masa konservative pada tahun 1800-1830 yang menjelaskan mengenai konflik antara politik konservative dengan liberal diawal tahun 1800an, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Raffles tahun 1812-1816 dan sistem sewa tanah (Landelijk Stelsel)tahun 1810-1830. Bab V berisi tentang Sistem Tanam Paksa tahun 1830-1870 yang menjelaskan tentang awal mula munculnya gagasan mengenai Sistem Tanam Paksa, ketentuan dan organisasi pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, penyimpangan-penyimpanagan dalam praktek Sistem Tanam Paksa, dan dampak yang ditimbulkan dari Sistem Tanam Paksa terhadap masyarakat pedesaan.
Bagian kedua membahas tentang perkembangan perkebunan antara tahun 1870 hingga tahun 1950. Pada bagian kedua ini memuat tujuh bab. Bab VI membahas tentang perkembangan perkebunan dalam periode 1870-1942. Bab VII berisi tentang perkembangan perusahaan perkebunan 1870-1914 yang membahas tentang dampak dari sistem tanam paksa yang dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya. Bab VIII berisi tentang perkembangan perkebunan dari Perang Dunia I sampai Perang Dunia II tahu 1914-1942. Bab IX berisi tentang perkembangan perkebunan periode krisis tahun 1930 hingga perang Dunia II pada tahun 1942 yang didalamnya membahas tentag pendahuluan, perkembangan perkebunan selama masa depresi sampai dengan Perang Dunia II tahun 1929-1942. Bab X berisi tentang masyarakat dan kebudayaan perkebunan yang menjelaskan tentang kondisi dan letak lokasi tempat perkebunan, struktur sosial dan struktur kekuasaan di tanah perkebunan, organisasi kerja dan hubungan industrial, gaya hidup masyarakat perkebunan, komunutas perkebunan dan masalah perjodohan, dan tentang masalah perburuhan dan kelakuan reaktif pekerja terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Kolonial. Bab XI beirsi tentang perkembangan perkebunan pada periode 1942-1955 yang memaparkan kondisi perkebunan pada masa pendudukan Jepang, Republik Indonesia tahun 1950-1955, dan masa pemugaran perkebunan setelah perang pada masa revolusi. Bab XII membahas perkembangan perkebunan pada periode 1956 hingga 1980-an yang memuat perkembangan organisasi perkebunan dan produksi perkebunan dalam masa PPN-Baru PNP.
 B.     Ringkasan Isi Buku
Buku Sejarah Perkebunan Indonesia terdiri dari dua belas bab yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi lima bab yang menjelaskan tentang perkebunan pada masa pra kolonial hingga berakhirnya tanam paksa di Hindia Belanda tahun 1870. Bagian kedua berisi tujuh bab yang menjelaskan mengenai perkembangan perkebunan periode liberal hingga periode 1980-an.
1.      Bagian pertama : Awal Pertumbuhan Perkebunan : 1600-1870
a.      BAB I : Pendahuluan
Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Sisrem perkebunan hadir sebagai perpanjangan tangan dari perkembangan kapitalis Barat.
Sebelum Barat memperkenalkan sistem perkebunan, masyarakat agaris Indonesia telah mengenal sistem kebun sebagai sistem perekonomian tradisional. Usaha kebun dijadikan usaha pelengkap atau sampingan  dalam kegiatan pertanian pokok. Ciri umum pertanian masyarakat agararis pra kolonial atau pra industrial adalah subsisten.
Sistem perkebunan yang dibawa oleh Barat berbeda dengan sistem kebun pada pertanian tradisional dimana sistem perkebunan diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian skala besar dan kompleks, bersifat padat modal, penggunaan lahan yang luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci, penggunaan tenaga kerja upahan, struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta  penanaman tanaman komersial untuk pasaran dunia.
Seperti yang dijelaskan di atas, sistem perkebunan ini erat kaitannya dengan kolonialisme dan modernisasi yang terjadi di Indonesia. Ekspansi kekuasaan kolonial pada abad ke-19 merupakan gerakan kolonialisme yang paling berpengaruh terhadap perubahan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan di negara yang dijajah. Masuknya kekuasaan politik dan ekonomi Barat telah mengakibatkan terjadinya proses transformasi struktural dari struktur politik dan ekonomi tradisional ke arah struktur politik dan ekonomi kolonial dan modern.
Kehadiran komunitas perkebunan di tanah jajahan melahirkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat. Sehingga banyak pihak mengatakan, sistem perkebunan di negara jajahan telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat dualistis dimana terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara komunitas sektor perekonomian modern dengan komunitas sektor perekonomian tradisional yang subsisten.
Proses perubahan sistem usaha kebun ke sistem perkebunan di Indonesia tidak hanya membawa perubahan teknologis dan oragnisasi proses produksi pertanian tetapi juga berkaitan dengan perubahan kebijaksanaan politik dan sistem kapitalisme kolonial yang menguasai. Oleh karena itu, perkembangan sistem perkebunan sejajar dengan fase-fase perkembangan politik kolonial dan sistem kapitalisme kolonial yang melatarbelakanginya. eksploitasi produksi pertanian diwujudkan dalam bentuk usaha perkebunan negara seperti Kulturstelsel.
Perkembangan peningkatan birokratisasi kolonial terjadi pada abad ke-19 yang ditandai dengan terjadinya proses sentralisasi adminiatrasi pemerintahan. Pada akhir abad ke-19, pemerintah kolonial mulia membuka sekolah rakyat(Volkschool) untuk calon pegawai tingkat bawah.
Selain itu, pemerintah juga membangun jalan Anyer-Panarukan untuk meningkatkan sistem komunikasi. Proses agroindustrialisasi semakin meluas ketika pemerintah melaksanakan kebijakan konservative pada tahun 1870. Kemudian pada awal abad ke-20, pemerintah melaksanakan politik etis sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

b.      BAB II : Masa Pra-Kolonial: Sistem Kebun Pada Masa Tradisional
Masyarakat dikepulauan Nusantara telah mekalukan berbagai kegiatan pertanian, terdapat empat macam sistem pertanian yang telah lama dikenal, yaitu sistem perladangan (Shifting cultivation), sistem persawahan (wet rice cultivation system), sistem kebun (garden system), dan sistem tegalan(dry field). Namun, studi tentang agraria di Indoneia menunjukan bahwa bangsa Eropa lebih memerlukan sistem pertanian perladangan dan tegalan sebagai sistem yang lebih menguntungkan yang menghasilkan tanaman yang laku dipasaran dunia.
Kebun bertanaman campuran di Jawa diduga telah berkembang di Jawa Tengah sebelum abad ke-10. Sejumlah daerah di luar Jawa pada masa sebelum abad ke-19 telah mengembangkan kebun tanaman perdagangan, misalnya kopi, lada, kapur barus, dan rempah-rempah.
Proses komersialisasi di daerah pantai pada abad ke-16 telah mendorong lahirnya kerajaan-kerajaan Islam dan pertumbuhan kota-kota emporium di sepanjang pantai Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Kedudukan Jawa sebagai daerah persawahan ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan agraris seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di luar Jawa seperti Maluku lebih mengandalkan surplus tanaman kebun, yaitu rempah-rempah. Ada juga yang memiliki sumber pendapatan lain sebagi bandar emporiumnya seperti Makassar, Banjarmasin, Aceh, dan Pelembang.
Kehadiran bangsa Eropa di Indonesia telah menyebabkan bertambahnya permintaan akan produksi Indonesia secara cepat, meningkatnya harga, memepertajam konflik politik dan ekonomi,  meluasnya kapitalisme politik Eropa, dan timbulnya perimbangan-perimbangan baru dalam keidupan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Kedatangan bangsa Portugis dan Belanda membawa dampak yang paling penting dalam kehidupan politik dan ekonomi perdagangan di Indonesia. Kehadiran VOC di Indonesia menyebabkan timbulnya pergeseran-pergeseran dalam sistem perdagangan dan eksploitasi bahan komoditi perdagangan.
c.       BAB III : Perkebunan pada Masa VOC, 1600-1800
Bangsa Eropa datang untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Kedatanagn Portugis pada abad ke-16 menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap komoditi rempah-rempah. Disusul dengan kedatangan bangsa Belanda, mengakibatkan semakin kerasnya persaingan dan meningkatnya harga rempah-rempah. Belanda menggunakan VOC untuk menguasai perdagangan di Nusantara.
VOC didirikan oleh negara-negara kota, yaitu negara federasi yang ada di Belanda. VOC berusaha menguasai daerah penghasil komoditi dagang seperti Jawa penghasil beras, Sumatera penghasil lada dan Maluku penghasil rempah-rempah. Dengan itu, VOC berusaha menggunakan cara-cara yang sudah biasa digunakan oleh masyarakat lokal.
VOC melakukan tiga cara dalam menguasai perdagangan di Nusantara. Pertama, melalui peperangan atau kekerasan seperti di Pulau  Banda, Batavia, Makassar, dan Banten. Kedua, mengadakan kontak dagang dengan saudagar-saudagar setempat seperti di Ternate, Cirebon, dan Mataram. Ketiga, mengikuti perdagangan bebas yang berlaku di daerah lokal seperti di Aceh.
Kegiatan perdagangan VOC selalu berorientasi pada pasaran dunia sehingga kebijakan yang diambil di Nusantara sering berubah sesuai dengan kondisi pasar. Oleh karena itu, VOC melakukan eksploitasi agraria dengan memperkenalkan sistem penyerahan wajib dan kontingensi. Selain itu, VOC berusaha melakukan pengembangan komoditi perdagangan baru seperti tebu, kopi, dan indigo.
Pengakuan kekuasaan VOC di Nusantara dilaksanakan dengan penyerahan surplus produksi pertanian. Penyerahan surplus dinamai dengan penyerahan wajib atau leverensi dan penyerahan sesuai kuota disebut dengan kontingensi. Sistem pungutan ini meniru sistem pungutan yang dilakukan oleh penguasa tradisional.
Sampai tahun 1677, VOC mendapatkan beras dari wilayah Mataram dengan pembelian beras. Namun, setelah tahun 1677 ketika Mataram dibawah kekuasaan VOC, VOC mendapatkan monopoli beras. Pada tahun 1743, VOC mendapatkan daerah pesisir dari Mataram dan diwajibkan melaksanakan penyerahan wajib berupa beras, indogo, dan kain katun. Sejak Mataram pecah menjadi dua, tahun 1755, Jawa menjadi daerah-daerah pemasok penyerahan wajib dan kerja paksa bagi kepentingan VOC.
Perluasan daerah dan peningkatan kekuasaan politik yang cepat abad ke-18 menyebabkan VOC berubah karakter dari perusahaan dagang menjadi penguasa teritorial. VOC mengeluarkan kebijakan yang pragmatis yaitu perluasan dari sistem penyerahan wajib ke sistem penanaman wajib tanaman perdagangan.
Penanaman kopi di Priangan dimulai tahun 1707. Priangan barat dan priangan timur dijadikan daerah penghasil kopi yang mampu memenuhi permintaan pasaran dunia. Kopi ditanam di kebun-kebun di lereng gunug dan dikerjakan dengan menggunakan pekerja wajib. Daerah penanaman kopi kemudian diperluas di Sumatera dan Ambon. Sistem penanaman kopi di Priangan disebut Priangan Stelsel. Pelaksanaanya bertepatan dengan kecenderungan peningkatan permintaan terhadap kopi di Eropa di akhir abad ke-17.
Hingga tahun 1725, produksi kopi di Jawa telah mengungguli perolehan kopi Yaman dan berhasil melampaui penanaman kopi di Sumatera Barat, Ambon, dan Srilanka. Priangan Stelselmenyebabkan  penyalahgunaan kekuasaan karena para bupati memiliki kesewenangan yang sangat besar dan kemampuan pengawasan  VOC sangat terbatas.
Sistem Priangan Stelsel telah menimbulkan kebutuhan yang besar terhadap tenaga kerja. Kebutuhan ini telah mendorong terjadinya migrasi tenaga kerja regional ke daerah Priangan.
d.      BAB IV : Perkebunan Masa Pemerintahan Konservatif 1800-1830
Pergantian politik pemerintahan ke pemerintahan Hindia Belanda pada peralihan abad ke-18 sampai abad ke-19 memberikan latar perkembangan sistem perkebunan di Indonesia pada abad ke-19 yang ditandai dengan kebangkrutan VOC.
Pada masa yang sama, di Eropa terjadi perluasan paham dan cita-cita liberal, sebagai akibat dari revolusi Perancis. Kelahiran kaum Liberal di Belanda yang dipelopori oleh Dirk van Hogendorp menghendaki dijalankannya politik liberal dan sistem pajak dengan landasan humanisme. Namun, pemerintah kolonial lebih cenderung menerima gagasan konservativ yang lebih cocok dengan kondisi negara jajahan.
Sistem pajak tanah dikenalkan oleh Raffles yang merupakan realisasi dari gagasan kaum liberal. Pengenalan sistem pajak tanah dilaksanakan seiring dengan kebijakannya mengenai sistem sewa tanah di tanah jajahan. Dalam pelaksanaannya, Raffles dihadapkan pada penetapan pajak secara perorangan atau secara sedesa. Pajak dibayarkan dalam bentuk uang atau dalam bentuk padi atau beras yang ditarik secara perseorangan dari penduduk. Namun, dalam pelaksanaanya, sistem pajak tanah ini mengalami banyak kendala dan hambatan. Bahkan, praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan.
Setelah pemerintahan Raffles berganti, pemerintah Belanda masih melaksanakan sistem pajak tanah, tetapi berbeda dengan cara yang dikehendaki oleh Raffles. Pungutan pajak dibebankan kepada desa, pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakuka dengan uang. Pemerintah Kolonial mempertahankan kedudukan Bupati sebagai penguasa feodal, disamping sebagai pegawai pemerintah kolonial, dia juga bertanggung jawab terhadap pungutan pajak tanah.
Sistem sewa tanah yang diterapkan, membawa dampak yang perubahan yang mendasar yang semula dijalankan oleh pemerintahan tradisional berubah menjadi ke sistem kontrak dan perdagangan bebas. Dalam pelaksanaanya, sistem sewa tanah tidak dapat dilakasanakan diseluruh Jawa seperti diOmmelanden dan Priangan. Sistem sewa tanah ini merupakan kebijakan Inggris yang diterapkan di India, dimana India memiliki perbedaan struktural dan kultural dengan Indonesia.
e.       BAB V : Sistem Tanam Paksa, 1830-1870
Kegagalan sistem sewa tanah pada masa pemerintahan sebelumnya, menyebabkan van den Bosch pada tahun 1830 diangkat menjadi gubernur Jendral di Hindia Belanda dengan gagasannya mengenai Cultuur Stelsel. Sistem tanan paksa merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dengan sistem sewa tanah. Sistem sewa tanah juga menghendaki adanya penyatuan kembali antara pemerintah dan kehidupan perusahaan dalam menangani produksi tanaman ekspor.
Pelaksanaan sistem tanam paksa sebagian besar dilaksanakan di Jawa. Jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanami rakyat yaitu kopi, tebu, dan indigo, selain itu ada lada, tembakau, teh, dan kayu manis.
Pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah, pada dasarnya sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis. Hal ini terjasi karena banyak terjasi penyimpangan. Penyelenggaraan sistem tanam paksa yang mengikut sertakan penguasa pribuki sebagai perantara merupakan salah satu sumber penyimpangan dalam berbagai praktek tanam paksa di tingkat desa. Sementara itu, pengerahan kerja perkebunan ke tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggal, dan pekerjaan rodi di pabrik-pabrik yang tidak mendapatkan upah sangat memberatkan penduduk.
Pelaksanaan sistem tanam paksa menyebabkan tenaga kerja rakyat pedesaan menjadi semakin terserap baik ikatan tradisional maupun ikatan kerja bebas dan komersial. Sistem tanam paksa juga telah membawa dampak diperkenalkannya sistem ekonomi uang pada penduduk desa. Selain itu, akibat dari peningkatan produksi tanaman perdagangan banyak dilakuakan perbaikan atau pembuatan irigasi, jalan, dan jembatan.
2.      Bagian kedua : Perkembangan Perkebunan, 1870-1980-an
a.      BAB VI Perkembangan Perkebunan dam Periode 1870-1942
Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan ekonomi Belanda menginjak proses industrialisasi. Hal ini melatar belakangi munculnya liberalisme sebagai ideologi yang dominan di negeri Belanda. Sehingga berdampak pada penetapan kebijakan di negaeri jajahan. Sehubungan dengan itu, tahun 1870 merupakan tonggak baru sejarah yang menandai permulaan zaman baru bercorak ekonomi liberal.
Undang-undang agraria tahun 1870, menetapkan:
1)      Tanah milik rakyat tidak dapat diperjualbelikan dengan non-probumi.
2)      Disamping itu, tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau dapat dibeli oleh non pribumi untuk keperluan bangunan perusahaan
3)      Untuk tanah domain lebih luas ada kesempatan bagi non-pribumi memiliki hak guna, ialah:
a)      Sebagai tanah dan hak membangun (RVO)
b)      Tanah sebagai erfpacht (hak sewa serta hak mewariskan) untuk jangka waktu 75 tahun
Industrialisasi pertanian menuntut pembangunan infrastruktur yang lebih memadai, antara lain jalan raya, kereta api, irigasi, pelabuhan, telekomunikasi, dsb.
 b.      BAB VII Perkembangan Perusahaan Perkebunan, 1870-1914
Prinsip ekonomi liberal secara formal meberikan kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya dan dilain pihak menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan perusahaan perkebunan. Pada masa ini, insentif yang diterima oleh petani jauh lebih besar ketimbang pada saat tanam paksa.
Pada masa transisi terlihat jelas proses pergeseran dari usaha pemerintah ke swasta dengan penyusutan perkebunan milik pemerintah dan meluasnya perkebunan swasta. Komoditi yang memegang peranan penting adalah kopi, gula, teh, tembakau, teh, dan indigo. Hal ini dikarenakan banyaknya investor yang menanamkan modalnya di Hindia Belanda.
Politik etis yang terkenal dengan triadenya, emigrasi, edukasi, dan irigasi, mulai dijalankan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1901 sebagai politik kehormatan yang ditujukan untuk meningkatakan kesejahteraan rakyat dengan peningkatan pembangunan infrastruktur.
Perkembangan perkebunan pada masa ini memperlihatkan peningkatan terus, yang paling menonjol adalah peningkatan dari tahun 1905 hingga 1909.
c.       BAB VIII Perkembangan Perkebunan dari Perang Dunia I sampai Perang Dunia II (1914-1942)
Dekade terakhir menjelang pecahnya perang dunia I ditandai oleh kemajuan pesat berbagai perusahaan perkebunan. Laju perekonomian menunjukan konjungtur yang membumbung, maka pecahnya perang Dunia I menganggu kecenderungan itu. Permintaan akan komoditi di pasaran dunia mengalami perubahan karena disesuaikan dengan keperluan perang. Situasi perang sangat mengurangitransportasi dan produksi barang impor. Nilai pendapatan tidak berubah bahkan menurun hingga tahun 1921.
Sejak akhir abad ke-19, Belanda sengaja melaksanakan politik “pintu terbuka” sebagai akibat dari internasionalisasi perdagangan seperti Amerika dan Jepang yang mulai meningkatkan perdagangannya dengan Indonesia.
Pada akhir abad ke-19, perkebunan pribumi hanya 10% dari seluruh ekspor, manun meningkat menjadi 37% pada tahun 1939. Hal ini seiring dengan penetrasi ekonomi kapitalisme di Indonesia.
Menjelang krisis dunia pada tahun 1929, menunjukan angka peningkatan produksi perkebunan yang sangat meningkat. Di masa itu, secara tidak langsung merangsang kebutuhan masyarakat ke arah kehidupan mewah, sehingga konsumsi masyarakat meningkat. Hal ini siikuti oleh bertambahnya pendapatan pemerintah. Masa-masa sebelum krisis dianggap sebagai masa kejayaan perusahan perkebunan.
d.      BAB IX Dari Krisis Dunia sampai Perang Dunia II (1929-1942)
Krisis malaise yang terjadi pada tahun 1930-an menyebabkan harga-harga komoditi turun, sedangkan biaya produksi termasuk upah turunnya sangat lambat. Dalam menghadapi krisis itu, pemerintah Belanda menjalankan politik moneter yang berbeda, yaitu: 1. Menurunkan gaji dan upah, 2. Mengadakan pajak-pajak baru, 3. Menurunkan berbagai tarif.
Kesulitan yang dihadapi Hindia Belanda dalam melakukan ekspor dan impor, antara lain adalah sukarnya mencari daerah ekspor, bahkan muncul produsen baru untuk komoditi yang tadinya dikuasai oleh Indonesia.
Berdasarkan data yang ada, sejak tahun 1930 menunjukan semuanya menurun, jumlah pabrik, areal kebun tebu, volume produksi, dan nilai penghasilannya. Dalam hal ini, rakyat ikut menderita kerugian akibat berkurangnya sewa tanah, upah buruh dan pembayaran berbagai pelayaran.
Kedudukan Hindia Belanda sangat dipengaruhi oleh proses industrialisasi yang semakin meningkat di dunia barat, sehingga ada perubahan permintaan kebutuhan akan bahan dasar dan tidak lagi pada barang-barang mewah seperti rempah-rempah. Pihak Indonesia berusaha mencari outlet baru karena pasaran dalam negeri belum mampu menyerap berbagai produksi perkebunan.
Kedudukan komoditi lama masih di atas seperti kopi, gula, teh, karet, tembakau, dan kina. Sedang komoditi baru mulia memonopoli sepserti kopra.
Selama periode ini banyak pembatasan dan pengawasan yang dilakukan bagi perkebunan eropa sedang hal itu sulit diterapkan terhadap perkebunan rakyat.
e.       BAB X Masyarakat dan Kebudayaan Perkebunan
Kebanyakan perkebunan terletak di didaerah-daerah pegunungan dan terpencil. Masyarakatnya adalah multirasial yang terdiri dari atas bangsa Eropa, Cina dan Jawa. Golongan-golongan dalam komunitas baru belum terikat oleh ikatan solidaritas baru.
Pada umumnya, masa periode awal perusahaan perkebunan, lingkungan masyarakat yang terbatas nasih dikuasai oleh hubungan patrimonial sehingga masih ada suasana keakraban dan kekeluargaan. Dalam perkembangannya, muncullah kebutuhan akan menejemen yang rasional dan efisien sesuai dengan tujuan peningkatan produktivitas setinggi-tingginya.
Pengaruh pemerintah kolonial tidak banyak menyentuh masyarakat perkebunan, ada keseganan dan sikap kurang mempedulikan. Posisi kaum pemerintah kurang berwibawa terhadap kaum perkebunan, sehingga banyak keadaan yang kurang beres di perkebunan dibiarkan dan tidak ada usaha menegakkan kekuasaan pemerintah.
Dalam mencari hiburan, kaum Eropa berkumpul di scieteituntuk minum-minum, dansa-dansi, main kartu, bilyar, dsb. Kaum Eropa mereka memandang rendah golongan pribumi dan kontak terbatas pada hubungan kerja. Perbedaan yang sangat mencolok dengan kaum pekerja menyebabkan dualisme ekonomi. Dalam kondisi yang serba berat, secara fisik pekerja dieksploitasi secara maksimal menyebabkam mereka menghibur diri dengan berjudi, menghisap candu, melacur yang menjerumuskan mereka kedalam ikatan pinjaman dengan bunga yang tinggi.
f.       BAB XI Periode 1942-1955
Periode ini mencakup zaman pendudukan Jepang, zaman revolusi dan zaman republik Indonesia.
Selama pendudukan Jepang segala lapangan kegiatan ditujuan untuk menopang usaha perang. Untuk memenuhi kebutuhan bahan panganan terutama beras, diadakan wajib setor. Namun, hal ini banyak sekali hambatannya, sehingga perkebunan banyak yang terlantar. Adapula yang dihentikan usahanya.
Dalam periode 1949-1950, di daerah RI hanya tinggal beberapa pabrik gula yang masih beroperasi. Sedangkan tembakau dan lainnya hanya melayani konsumsi dalam negeri. Disamping itu banyak gangguan keamanan oleh gerombolan liar. Hal inilah yang menjadi faktor mengapa penanam modal tidak tertarik menanamkan modalnya secara besar-besaran di Indonesia.
Sejak berdirinya, RI menghadapi keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan antara lain mewarisi keuangan federal dan RI Yogyakarta dengan defisit besar, inflasi kuat, ketidakseimbangan antara ekspor dan  impor. Indonesia telah kehilangan sebagian besar pasarannya sebelum perang ditambah dengan pemulihan perkebunan yang lambat menyebabkan perkebunan sangat jauh tertinggal.
Beberapa gejala yang menggembirakan ialah munculnya gerakan koperasi, pembangunan pedesaan, kelompok wiraswastawan dan badan usaha pribumi, antara lain Yayasan Kopra dan TNV. Komoditi pekebunan yang paling dapat bertahan adalah karet.
Sebagai dampak dari Perang Dunia II, perkebunan pada umumnya mengalami kerusakan berat, maka diperlukan usaha pemugaran secara besar-besaran. Berdasarkan Ketentuan Perundiangan Meja Bundar akhir 1949, perkebunan milik pemerintah kolonial diambil alih oleh pemerintah RI.

g.      BAB XII Periode 1956-1980-an
Periode ini mencakup perkembangan perkebunan di bawah penanganan Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN-Baru) dan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Perkembangan perkebunan pada periode ini  tidak telepas dari pengaruh perubahan dan perkembangan kehidupan politik dan sistem perekonomian yang berlaku selama itu di Indonesia.
Pada tahun 1957-1960, kebijaksanaan Ekonomi Terpimpin besar pengaruhnya terhadap perubahan kebijaksanaan di sektor perekonomian. Antara lain Deklarasi Ekonomi memberikan pengaruh penting terhadap langkah-langkah kebijaksanaan pemerintah dalam sektor perekonomian. Pengambilalihan perusahaan milik Belanda oleh pemerintah seperti perusahaan swasta perkebunan milik Belanda diambil alih oleh pemerintah pada 10 Desember 1957. Perusahaan ini tidak digabungkan dalam PPN yang sebelumnya ada melainkan digabungkan dalam PPN Baru.
Pada tahun 1968 terjadi penciutan jumlah PPN dari 88 menjadi 28 buah, penghapusan BPU (PP. No.13, tanggal 27 Maret 1968), pembentukan Perusahaan Negara Perkebuna (PNP), selanjutnya diikuti dengan penetapan pembentukan Badan Khusus Urusan Perusahaan Negara (BKU-PN) pada tahun 1969 yang menetapkan pemisahan antara Ditjen Perkebunan dengan BKU-PNP.
Perkembangan sesudah tahun 1980-an menunjukan bahwa sektor perkebunan masih tetap merupakan salah satu sumber perekonomian negara. Kebijaksanaan pemerintah untuk mengalihkan prosuksi ekspor migas ke non migas telah mengokohkan kembali keberadaan perkebunan di Indonesia. Upaya pembinaan dan pelestarian melalui berbagai model dan pendekatan sepserti Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dilaksanakan.

C.    Analisa Isi Buku
Perkembangan perkebunan di Indoensia, secara garis besar telah dijelaskan dalam buku berjudul “Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian Sosio-kultural” yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. Buku ini merupakan buku yang ditulis bersamaan dengan buku-buku komoditas perkebunan yang merupakan kerja sama antara Departemen Pertanian dengan Pusat Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) Universitas Gadjah Mada.
Buku Sejarah Perkebunan di Indonesia menggunakan pendekatan Sosio Kultural. Pendekatan sosio kultural sangat penting untuk menjelaskan struktur kehidupan sebuah masyarakat. Menjelaskan bagaimana sebuah kondisi terjadi akibat organisasi masyarakta yang ada di daerah trsebut. Pendekatan inilah yang digunakan oleh Sartono dan Djoko Suryo dalam menjelaskan sistem perkebunan di Indonesia dengan berbagai permasalahan yang dialami baik dari segi produksi maupun konflik yang terjadi antara pekerja dengan pemilik perkebunan.
Sartono Kartodirdo dan Djoko Suryo dalam kata pengantarnya menyebutkan bahwa buku ini adalah ranguman dari perkembangan perkebunan di Indonesia. Pembahasan mengenai periode yang sangat panjang dijelaskan dengan uraian yang singkat, lugas dan mudah dimengerti oleh pembaca.
Buku ini memberikan gambaran tentang latar belakang historis sehingga perkembangan perkebunan dewasa ini dapat dipahami sebagai kelanjutan perkembangan masa kolonial. Dalam dinamika perkebunan di Indonesia, pasang surut perusahaan dapat dilihat dari naik turunnya produksi.
Buku ini terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama membahas tentang awal pertumbuhan perkebunan di Indonesia dari tahun 1600 hingga 1870. Bagian kedua membahas tentang perkembangan perkebunan tahun 1870 hingga 1980-an.
Diawal pertumbuhann perkebunan di Indonesia ditandai dengan masuknya kekuatan kolonial ke Nusantara. Praktek-praktek perkebunan mulai diperkenalkan. Perkebunan dijadikan sebagai lahan pertanian utama dalam menghasilkan devisa negara saat itu. VOC sebagai kongsi perdagangan mulai memonopoli perdagangan di Nusantara. Keberadaan VOC yang dahulunya sebagai kongsi dagang berubah menjadi penguasa teritorial. Para petani diwajibkan untuk menyetor bahan-bahan dasar dari hasil pertanian, seperti beras, kopi, dan gula kepada penguasa VOC. Pada tahun 1800, kekuasaan VOC digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penguasa baru ini menetapkan Cultuur Stelselatau Sistem Tanam Paksa pada tahun 1830 sebagai akibat dari kekosongan kas negara. Negara jajahan dieksploitasi untuk menghasilkan devisa bagi negara induk. Seiring dengan perkembangan itu, di negara jajahan dibangun sarana komunikasi seperti kereta api, komunikasi, jalan raya dan infrastruktur lainnya sebagai penunjang kegiatan eksploitasi ini.
Sejak 1850, pasaran dunia mengalami kemajuan pesat. Namun perkembangan liberalisme Eropa menyebabkan Belanda juga mengidap faham liberalisme. Perubahan politik dan ideologi di negara induk menyebabkan berubah pula kebijakan-kebijakan di negara jajahan. Di negara jajahan dilaksanakannya sistem perekonomian liberal dengan dibuka seluas-luasnya perekonomian bagi investasi swasta di Hindia Belanda. Ditunjang dengan adanya Undang-Undang Agraria tahun 1870, membuka kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut andil dalam perekonomian negara. Sejak tahun 1870, pembangunan yang dilaksanakan dan industrialisasi yang yang terjadi di Nusantara telah membawa Indonesia ke ambang pintu modernisasi. Selain itu pembukaan terusan Suez, telah membuka akses anatra Indonesia dengan Eropa.
Sejak terjadinya resesi dunia pada tahun 1930, perkembangan perkebunan di Indonesia lebih terarah kepada pasaran dalam negeri. Namun, kegiatan ekspor pertanian masih memegang peranan penting seperti 10% di Jawa dan 20% di Sumatera.
Dengan pecahnya Perang Dunia II, perusahaan perkebunan yang terutama terarah kepada ekspor dan kebutuhan dunia, mau tidak mau mengalami kemunduran. Pasaran itu terputus atau merosot akibat Perang. Setelah pereng selesai, Indonesia melakukan revolusi selama lima tahun sehingga tidak mampu memulihkan perusahaan perkebunan. Setelah Revolusi, suasana politik sejak 1950 menimbulkan  hambatan untuk pemulihan kedudukan perkebunan. Pada tahun 1980-an kebijaksanaan pemerintah untuk mengalihkan produksi ekspor migas ke non-migas sebagai sumber devisa negara telah mengokohkan kembali keberadaan perkebunan di Indoensia.
a)      Kondisi Sosial Masyarakat
Budaya masyarakat perkebunan yang terlihat di masyarakat Deli, Sumatera Utara, banyak menampilkan karakteristik yang juga dijumpai diperkebunan Jawa yang sejenis. Baik lokasi, isolasi dan otonomi komunitasnya, dualisme ekonomi kolonial, pluralisme sosialnya, hegemoni pengusaha eropa, eksploitasi tenaga  sejenis dengan perkebunan di Jawa. 
Perbedaan antara taraf hidup golongan Eropa dengan taraf hidup pribumi amat mencolok, manun karena kesadaran akan diskriminasi belum berkembang, maka rakyat menerima saja perbedaan yang mencolok itu. Namun, dengan keadaan yang terisolasi itu  membuat pemerintah kolonial tetap memberikan kemudahan seperti edukasi, transportasi, komoditi, hiburan, dan berbagai pelayanan bagi bangsa Eropa.
Selama ada kontak antara pekerja dengan pengusaha atau seperti partron-client tidak akan timbul ketegangan-ketegangan. Titik-titik  yang mudah menimbulkan konflik ialah masalah penggunaan lahan, terutama persawahan, khususnya mengenai areal lahan dan waktu. Ketidaksesuaian itu mudah menimbulkan konfrontasi berdarah seperti kasus Gedangan tahun 1904.
Pada masa lampau, perkebunan berfungsi sebagai sumber produksi yang menghasilkan berjuta-juta kepada pemerintah Kolonial, namun dari dana yang diperoleh itu sedikit sekali yang digunakan untuk membanguan daerah ajjahan. Dengan demikian terjadi keadaan yang sangat berbeda antara perkebunan dan daerah sekitarnya. Hal ini juga dikarenakan golongan Eropa mulai terarah ke kota untuk mencari hiburan atau rekreasi. Kota-kota Bandung, Malang, Medan berkembang pesat karena menjadi pusat pemukiman dan pelayanan bagi kaum perkebunan.
Untuk keperluan pegawai pabrik, disediakan berbagai fasilitas seperti sekolah, rumah sakit, tempat rekreasi yang juga terbuka bagi masyarakat di sekitarnya.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah kolonial telah mengintegrasikan rakyat pedesaan dengan masyarakat pabrik bukan malah mengisolasinya. Sekaligus trickle down keuntungan perusahaan dapat mencapai rakyat sekitarnya.
“Tidak ada gading yang tak retak” begitulah perumpamaan yang biasa dikatakan tentang kelebihan dan kekuarangan seseorang. Begitu juga sebuah buku yang ditulis, juga memiliki kekurangan dan kelebihan. Saya akan coba membahas keduanya.
1.      Kelebihan Buku
Ada beberapa kelebihan yang terdapat dalam buku yang sedang saya baca dan saya buat ringkasannya ini yang membuat saya tertarik untuk membahasnya satu persatu.
Pertama, dalam penulisan sejarah di Indonesia sangat sedikit buku-buku yang membahas tentang sejarah ekonomi. Namun, Sartono dan Djoko Suryo mencoba membahas tentang Sejarah perekonomian Indonesia dengan mengkhususkan bidangnya pada sektor perkebunan. Sejarah ekonomi yang dipandang sebagai sejarah yang menyajikan angka-angka semata, di tangan kedua penulis ini, sejarah perekonomian menjadi semakin menarik dengan disertakannya analisis-analisis dari data-data yang disajikan.
Kedua, buku ini memaparkan perkembangan perkebunan di Indonesia pada rentang waktu yang sangat panjang yaitu sebelum masa kolonial pada abad ke-16 hingga tahun 1980-an. Masa yang negitu panjang, sekitar empat abad lamanya. Namun, buku ini mampu menjawab tantangan itu dengan menyajikannya dalam bahasa yang enak dan mudah dimengerti oleh sejarawan bahkan oleh masyarakat umum yang ingin mengetahui sejarah perkebunan masa lampau.
Ketiga, dalam setiap bab yang disajikan dalam buku ini, penulis juga menyertakan data-data yang mendukung sehingga mempertajam analisis yang dipaparkan oleh penulis di setiap bab nya. Meski data-data yang digunakan adalah data sekunder, tetapi buku ini memberikan penjelasan yang jelas mengenai kondisi perkebunan pada masa itu.
2.      Kekurangan Buku
Ada beberapa kekuarangan dalam buku ini, diantaranya adalah:
Pertama, buku ini berjudul “ Sejarah Perkebunan Di Indonesia: kajian Sosial-Ekonomi”. Pendekatan sosial tang dilakukan dalam buku ini dinilai kurang. Kurang terlihat dinamika kehidupan masyarakat perkebunan, karena yang dibahasa adalah komunitas besar dalam masyarakat Indonesia. Konflik-konflik yang terjadi di masyarakat pekebunan tidak terlalu menonjol dibahas dalam buku ini.
Kedua, meski rentang waktu yang begitu lama menjadi salah satu kelebihan dalam buku ini, tetapi hal ini bisa menjadi kekuarangan dalam buku ini. Uraian singkat yang disajikan dalam setiap periode yang disajikan dalam buku ini menjadikan buku ini hanya buku rujukan umum, bukan rujukan khusus mengenai detail peristiwa. Rincian yang kurang mendetail ini pantas lah memang Sartono dan Suryo menyebut buku ini sebagai rangkuman saja.
Ketiga, data yang digunakan dalam buku ini adalah data sekunder. Misalnya data-data yang diambil dalam buku karangan D.H. Burger yang berjudul “Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia”. Meski karya itu merupakan karya akademin Burger, tetapi harusnya penulis menelusuri kembali kebenaran data yang disajikan oleh sumber sekunder. Pada bab XI dan XII, bahkan sedikit sekali penjelasan mengenai perkebunan masa itu.
Keempat, pemaparan tentang kondisi masyarakat perkebunan, aktivitas, dan  masalah-masalah yang timbul tidak dijelaskan dengan rinci. Meskipun telah dijelaskan dalam satu bab khusus, tertapi ini kurang. Seperti buku Sartono mengenai Pemberontakan Petani Banten 1888 yang menjelaskan tentang struktur masyarakat Banten pada masa itu untuk menjelaskan pemberontakan besar yang terjadi di tanah perkebunan. Pemberontakan-pemberontakan itu terjadi akibat akumulasi kejengkelan serta ketimpangan ekonomi yang diperlihatkan oleh pemerintah lokal kepada pekerja.
Kelebihan dan kekurangan yang saya paparkan di atas merupakan pandangan seorang mahasiswa sejarah yang belum mengetahui banyak hal mengenai seluk beluk perekonomian dan sejarah agraria di Indonesia.
D.    Penutup
a.      Kesimpulan
Sistem kebun sebenarnya sudah dikenal dalam masyarakat tradisional di Nusantara sebagai sistem perkebunan sampingan, mengingat kehidupan petani saat itu bersifat subsisten. Sistem kebun dilakukan ketika sistem pertanian pokok telah dilakukan, sehingga waktu yang tersisa digunakan untuk menggarap kebun. Sistem perkebunan mulai muncul ketika datangnya ekspansi bangsa Eropa ke Nusantara pada abad ke-16. Mereka mulai memperkenalkan sistem perkebunan sebagai sistem yang prospektif dengan keuntungan yang besar, modal yang besar, lahan yang besar, serta pengorganisasian yang rapih. Seiring dengan datangnya kolonialisme ke Nusantara, masyarakat Indonesia diperkenalkan cara-cara modern dalam mengolah lahan pertanian.  Penanaman tanaman perkebunan berorientasi pasar dunia. Sehingga kebutuhan pasar dunia mempengaruhi jenis tanaman yang ditanam. Dalam perkembangannya bangsa Eropa (Belanda) mampu menancapkan kuku kekuasaanya di Nusantara dan mengunakan cara-cara paksaan untuk mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja yang dimiliki oleh Hindia Belanda. Kondisi ini sungguh memprihatinkan dimana telah terjadi ketimpangan sosial antara komunitas para petani tradisional yang bersifat subsisten dan komunitas pertanian modern yang disebut sebagai ‘dualisme perekonomian’.
Sekitar tahun 1950-an berdasarkan amanat sidang Konferensi Meja Bundar akhir tahun 1949, perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda mulai diambil alih oleh pemerintah RI. Namun, setelah masa revolusi selesai susana politik sejak tahun 1950 menimbulkan hambatan untuk memulihkan kedudukan perkebunan. Hingga tahun 1980-an, kedudukan perkebunan sebagai salah satu sektor pertanian negara masih dipertahankan. Namun

TINJAUAN BUKU “SEJARAH PERKEBUNAN DI INDONESIA: KAJIAN SOSIAL EKONOMI”



Deskripsi Buku

Judul                           : Sejarah Perkebunan Indonesia: Kajian Sosial – Ekonomi
Pengarang                   : Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan Dr. Djoko Suryo
Jumlah Halaman          : xxii +187 hlm
Penerbit                       : Penerbit Aditya Media – Yogyakarta
Tahun Terbit                : 1991

A.    Pendahuluan
Buku berjudul Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo merupakan salah satu buku yang membahas sejarah perekonomian di Indonesia yang ditulis dengan pendekatan sosio kultural.
Dalam buku ini membahas secara gamblang mengenai perkebunan Indonesia sejak masa pra-kolonial sebagai masa sebelum datangnya bangsa Barat ke Nusantara hingga masa pemerintahan Orde Baru dimana geliat perkebunan mulai terlihat kembali setelah sebelumnya terjadi penurunan yang sangat tajam. Dalam penulisan buku ini, penulis menggunakan pendekatan sosio kultural. Pendekatan ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana kehidupan para pekerja, oraganisasi dan hubungan antara pemilik tanah dan taun-tuan tanah  di tanah perkebunan.
Buku Sejarah Perkebunan Indonesia ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian pertama dan bagian kedua. Bagian pertama disusun oleh Djoko Suryo, sedangkan bagian kedua disusun oleh Sartono Kartodirdjo kecuai bab XII yang disusun oleh Djoko Suryo.
Pada bagian pertama buku ini berisi lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang menjelaskan tentang kolonialisme serta pengaruh kolonialisme terhadap modernisasi yang terjadi di Indoensia. Bab II berisi tentang Masa Prakolonial yang menjelaskan tentang sistem perkebunan pada masa tradisional dimana terjadi perpindahan dari sistem perladangan ke sistem kebun dan menjadikan tanaman kebun  sebagai komoditi perdagangan. Bab III berisi tentang perkebunan pada masa VOC yaitu tahun 1600-1800 dimana pada bab ini dijelaskan politik perdagangan VOC, Sistem leveransi wajib dan kontingensi,Priangan Stelsel dan perkebunan Tebu di desa persewaan. Bab III berisi tetang perkembangan perkebunan pada masa konservative pada tahun 1800-1830 yang menjelaskan mengenai konflik antara politik konservative dengan liberal diawal tahun 1800an, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Raffles tahun 1812-1816 dan sistem sewa tanah (Landelijk Stelsel)tahun 1810-1830. Bab V berisi tentang Sistem Tanam Paksa tahun 1830-1870 yang menjelaskan tentang awal mula munculnya gagasan mengenai Sistem Tanam Paksa, ketentuan dan organisasi pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, penyimpangan-penyimpanagan dalam praktek Sistem Tanam Paksa, dan dampak yang ditimbulkan dari Sistem Tanam Paksa terhadap masyarakat pedesaan.
Bagian kedua membahas tentang perkembangan perkebunan antara tahun 1870 hingga tahun 1950. Pada bagian kedua ini memuat tujuh bab. Bab VI membahas tentang perkembangan perkebunan dalam periode 1870-1942. Bab VII berisi tentang perkembangan perusahaan perkebunan 1870-1914 yang membahas tentang dampak dari sistem tanam paksa yang dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya. Bab VIII berisi tentang perkembangan perkebunan dari Perang Dunia I sampai Perang Dunia II tahu 1914-1942. Bab IX berisi tentang perkembangan perkebunan periode krisis tahun 1930 hingga perang Dunia II pada tahun 1942 yang didalamnya membahas tentag pendahuluan, perkembangan perkebunan selama masa depresi sampai dengan Perang Dunia II tahun 1929-1942. Bab X berisi tentang masyarakat dan kebudayaan perkebunan yang menjelaskan tentang kondisi dan letak lokasi tempat perkebunan, struktur sosial dan struktur kekuasaan di tanah perkebunan, organisasi kerja dan hubungan industrial, gaya hidup masyarakat perkebunan, komunutas perkebunan dan masalah perjodohan, dan tentang masalah perburuhan dan kelakuan reaktif pekerja terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Kolonial. Bab XI beirsi tentang perkembangan perkebunan pada periode 1942-1955 yang memaparkan kondisi perkebunan pada masa pendudukan Jepang, Republik Indonesia tahun 1950-1955, dan masa pemugaran perkebunan setelah perang pada masa revolusi. Bab XII membahas perkembangan perkebunan pada periode 1956 hingga 1980-an yang memuat perkembangan organisasi perkebunan dan produksi perkebunan dalam masa PPN-Baru PNP.
 B.     Ringkasan Isi Buku
Buku Sejarah Perkebunan Indonesia terdiri dari dua belas bab yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi lima bab yang menjelaskan tentang perkebunan pada masa pra kolonial hingga berakhirnya tanam paksa di Hindia Belanda tahun 1870. Bagian kedua berisi tujuh bab yang menjelaskan mengenai perkembangan perkebunan periode liberal hingga periode 1980-an.
1.      Bagian pertama : Awal Pertumbuhan Perkebunan : 1600-1870
a.      BAB I : Pendahuluan
Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Sisrem perkebunan hadir sebagai perpanjangan tangan dari perkembangan kapitalis Barat.
Sebelum Barat memperkenalkan sistem perkebunan, masyarakat agaris Indonesia telah mengenal sistem kebun sebagai sistem perekonomian tradisional. Usaha kebun dijadikan usaha pelengkap atau sampingan  dalam kegiatan pertanian pokok. Ciri umum pertanian masyarakat agararis pra kolonial atau pra industrial adalah subsisten.
Sistem perkebunan yang dibawa oleh Barat berbeda dengan sistem kebun pada pertanian tradisional dimana sistem perkebunan diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian skala besar dan kompleks, bersifat padat modal, penggunaan lahan yang luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci, penggunaan tenaga kerja upahan, struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta  penanaman tanaman komersial untuk pasaran dunia.
Seperti yang dijelaskan di atas, sistem perkebunan ini erat kaitannya dengan kolonialisme dan modernisasi yang terjadi di Indonesia. Ekspansi kekuasaan kolonial pada abad ke-19 merupakan gerakan kolonialisme yang paling berpengaruh terhadap perubahan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan di negara yang dijajah. Masuknya kekuasaan politik dan ekonomi Barat telah mengakibatkan terjadinya proses transformasi struktural dari struktur politik dan ekonomi tradisional ke arah struktur politik dan ekonomi kolonial dan modern.
Kehadiran komunitas perkebunan di tanah jajahan melahirkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat. Sehingga banyak pihak mengatakan, sistem perkebunan di negara jajahan telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat dualistis dimana terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara komunitas sektor perekonomian modern dengan komunitas sektor perekonomian tradisional yang subsisten.
Proses perubahan sistem usaha kebun ke sistem perkebunan di Indonesia tidak hanya membawa perubahan teknologis dan oragnisasi proses produksi pertanian tetapi juga berkaitan dengan perubahan kebijaksanaan politik dan sistem kapitalisme kolonial yang menguasai. Oleh karena itu, perkembangan sistem perkebunan sejajar dengan fase-fase perkembangan politik kolonial dan sistem kapitalisme kolonial yang melatarbelakanginya. eksploitasi produksi pertanian diwujudkan dalam bentuk usaha perkebunan negara seperti Kulturstelsel.
Perkembangan peningkatan birokratisasi kolonial terjadi pada abad ke-19 yang ditandai dengan terjadinya proses sentralisasi adminiatrasi pemerintahan. Pada akhir abad ke-19, pemerintah kolonial mulia membuka sekolah rakyat(Volkschool) untuk calon pegawai tingkat bawah.
Selain itu, pemerintah juga membangun jalan Anyer-Panarukan untuk meningkatkan sistem komunikasi. Proses agroindustrialisasi semakin meluas ketika pemerintah melaksanakan kebijakan konservative pada tahun 1870. Kemudian pada awal abad ke-20, pemerintah melaksanakan politik etis sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

b.      BAB II : Masa Pra-Kolonial: Sistem Kebun Pada Masa Tradisional
Masyarakat dikepulauan Nusantara telah mekalukan berbagai kegiatan pertanian, terdapat empat macam sistem pertanian yang telah lama dikenal, yaitu sistem perladangan (Shifting cultivation), sistem persawahan (wet rice cultivation system), sistem kebun (garden system), dan sistem tegalan(dry field). Namun, studi tentang agraria di Indoneia menunjukan bahwa bangsa Eropa lebih memerlukan sistem pertanian perladangan dan tegalan sebagai sistem yang lebih menguntungkan yang menghasilkan tanaman yang laku dipasaran dunia.
Kebun bertanaman campuran di Jawa diduga telah berkembang di Jawa Tengah sebelum abad ke-10. Sejumlah daerah di luar Jawa pada masa sebelum abad ke-19 telah mengembangkan kebun tanaman perdagangan, misalnya kopi, lada, kapur barus, dan rempah-rempah.
Proses komersialisasi di daerah pantai pada abad ke-16 telah mendorong lahirnya kerajaan-kerajaan Islam dan pertumbuhan kota-kota emporium di sepanjang pantai Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Kedudukan Jawa sebagai daerah persawahan ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan agraris seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di luar Jawa seperti Maluku lebih mengandalkan surplus tanaman kebun, yaitu rempah-rempah. Ada juga yang memiliki sumber pendapatan lain sebagi bandar emporiumnya seperti Makassar, Banjarmasin, Aceh, dan Pelembang.
Kehadiran bangsa Eropa di Indonesia telah menyebabkan bertambahnya permintaan akan produksi Indonesia secara cepat, meningkatnya harga, memepertajam konflik politik dan ekonomi,  meluasnya kapitalisme politik Eropa, dan timbulnya perimbangan-perimbangan baru dalam keidupan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Kedatangan bangsa Portugis dan Belanda membawa dampak yang paling penting dalam kehidupan politik dan ekonomi perdagangan di Indonesia. Kehadiran VOC di Indonesia menyebabkan timbulnya pergeseran-pergeseran dalam sistem perdagangan dan eksploitasi bahan komoditi perdagangan.
c.       BAB III : Perkebunan pada Masa VOC, 1600-1800
Bangsa Eropa datang untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Kedatanagn Portugis pada abad ke-16 menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap komoditi rempah-rempah. Disusul dengan kedatangan bangsa Belanda, mengakibatkan semakin kerasnya persaingan dan meningkatnya harga rempah-rempah. Belanda menggunakan VOC untuk menguasai perdagangan di Nusantara.
VOC didirikan oleh negara-negara kota, yaitu negara federasi yang ada di Belanda. VOC berusaha menguasai daerah penghasil komoditi dagang seperti Jawa penghasil beras, Sumatera penghasil lada dan Maluku penghasil rempah-rempah. Dengan itu, VOC berusaha menggunakan cara-cara yang sudah biasa digunakan oleh masyarakat lokal.
VOC melakukan tiga cara dalam menguasai perdagangan di Nusantara. Pertama, melalui peperangan atau kekerasan seperti di Pulau  Banda, Batavia, Makassar, dan Banten. Kedua, mengadakan kontak dagang dengan saudagar-saudagar setempat seperti di Ternate, Cirebon, dan Mataram. Ketiga, mengikuti perdagangan bebas yang berlaku di daerah lokal seperti di Aceh.
Kegiatan perdagangan VOC selalu berorientasi pada pasaran dunia sehingga kebijakan yang diambil di Nusantara sering berubah sesuai dengan kondisi pasar. Oleh karena itu, VOC melakukan eksploitasi agraria dengan memperkenalkan sistem penyerahan wajib dan kontingensi. Selain itu, VOC berusaha melakukan pengembangan komoditi perdagangan baru seperti tebu, kopi, dan indigo.
Pengakuan kekuasaan VOC di Nusantara dilaksanakan dengan penyerahan surplus produksi pertanian. Penyerahan surplus dinamai dengan penyerahan wajib atau leverensi dan penyerahan sesuai kuota disebut dengan kontingensi. Sistem pungutan ini meniru sistem pungutan yang dilakukan oleh penguasa tradisional.
Sampai tahun 1677, VOC mendapatkan beras dari wilayah Mataram dengan pembelian beras. Namun, setelah tahun 1677 ketika Mataram dibawah kekuasaan VOC, VOC mendapatkan monopoli beras. Pada tahun 1743, VOC mendapatkan daerah pesisir dari Mataram dan diwajibkan melaksanakan penyerahan wajib berupa beras, indogo, dan kain katun. Sejak Mataram pecah menjadi dua, tahun 1755, Jawa menjadi daerah-daerah pemasok penyerahan wajib dan kerja paksa bagi kepentingan VOC.
Perluasan daerah dan peningkatan kekuasaan politik yang cepat abad ke-18 menyebabkan VOC berubah karakter dari perusahaan dagang menjadi penguasa teritorial. VOC mengeluarkan kebijakan yang pragmatis yaitu perluasan dari sistem penyerahan wajib ke sistem penanaman wajib tanaman perdagangan.
Penanaman kopi di Priangan dimulai tahun 1707. Priangan barat dan priangan timur dijadikan daerah penghasil kopi yang mampu memenuhi permintaan pasaran dunia. Kopi ditanam di kebun-kebun di lereng gunug dan dikerjakan dengan menggunakan pekerja wajib. Daerah penanaman kopi kemudian diperluas di Sumatera dan Ambon. Sistem penanaman kopi di Priangan disebut Priangan Stelsel. Pelaksanaanya bertepatan dengan kecenderungan peningkatan permintaan terhadap kopi di Eropa di akhir abad ke-17.
Hingga tahun 1725, produksi kopi di Jawa telah mengungguli perolehan kopi Yaman dan berhasil melampaui penanaman kopi di Sumatera Barat, Ambon, dan Srilanka. Priangan Stelselmenyebabkan  penyalahgunaan kekuasaan karena para bupati memiliki kesewenangan yang sangat besar dan kemampuan pengawasan  VOC sangat terbatas.
Sistem Priangan Stelsel telah menimbulkan kebutuhan yang besar terhadap tenaga kerja. Kebutuhan ini telah mendorong terjadinya migrasi tenaga kerja regional ke daerah Priangan.
d.      BAB IV : Perkebunan Masa Pemerintahan Konservatif 1800-1830
Pergantian politik pemerintahan ke pemerintahan Hindia Belanda pada peralihan abad ke-18 sampai abad ke-19 memberikan latar perkembangan sistem perkebunan di Indonesia pada abad ke-19 yang ditandai dengan kebangkrutan VOC.
Pada masa yang sama, di Eropa terjadi perluasan paham dan cita-cita liberal, sebagai akibat dari revolusi Perancis. Kelahiran kaum Liberal di Belanda yang dipelopori oleh Dirk van Hogendorp menghendaki dijalankannya politik liberal dan sistem pajak dengan landasan humanisme. Namun, pemerintah kolonial lebih cenderung menerima gagasan konservativ yang lebih cocok dengan kondisi negara jajahan.
Sistem pajak tanah dikenalkan oleh Raffles yang merupakan realisasi dari gagasan kaum liberal. Pengenalan sistem pajak tanah dilaksanakan seiring dengan kebijakannya mengenai sistem sewa tanah di tanah jajahan. Dalam pelaksanaannya, Raffles dihadapkan pada penetapan pajak secara perorangan atau secara sedesa. Pajak dibayarkan dalam bentuk uang atau dalam bentuk padi atau beras yang ditarik secara perseorangan dari penduduk. Namun, dalam pelaksanaanya, sistem pajak tanah ini mengalami banyak kendala dan hambatan. Bahkan, praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan.
Setelah pemerintahan Raffles berganti, pemerintah Belanda masih melaksanakan sistem pajak tanah, tetapi berbeda dengan cara yang dikehendaki oleh Raffles. Pungutan pajak dibebankan kepada desa, pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakuka dengan uang. Pemerintah Kolonial mempertahankan kedudukan Bupati sebagai penguasa feodal, disamping sebagai pegawai pemerintah kolonial, dia juga bertanggung jawab terhadap pungutan pajak tanah.
Sistem sewa tanah yang diterapkan, membawa dampak yang perubahan yang mendasar yang semula dijalankan oleh pemerintahan tradisional berubah menjadi ke sistem kontrak dan perdagangan bebas. Dalam pelaksanaanya, sistem sewa tanah tidak dapat dilakasanakan diseluruh Jawa seperti diOmmelanden dan Priangan. Sistem sewa tanah ini merupakan kebijakan Inggris yang diterapkan di India, dimana India memiliki perbedaan struktural dan kultural dengan Indonesia.
e.       BAB V : Sistem Tanam Paksa, 1830-1870
Kegagalan sistem sewa tanah pada masa pemerintahan sebelumnya, menyebabkan van den Bosch pada tahun 1830 diangkat menjadi gubernur Jendral di Hindia Belanda dengan gagasannya mengenai Cultuur Stelsel. Sistem tanan paksa merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dengan sistem sewa tanah. Sistem sewa tanah juga menghendaki adanya penyatuan kembali antara pemerintah dan kehidupan perusahaan dalam menangani produksi tanaman ekspor.
Pelaksanaan sistem tanam paksa sebagian besar dilaksanakan di Jawa. Jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanami rakyat yaitu kopi, tebu, dan indigo, selain itu ada lada, tembakau, teh, dan kayu manis.
Pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah, pada dasarnya sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis. Hal ini terjasi karena banyak terjasi penyimpangan. Penyelenggaraan sistem tanam paksa yang mengikut sertakan penguasa pribuki sebagai perantara merupakan salah satu sumber penyimpangan dalam berbagai praktek tanam paksa di tingkat desa. Sementara itu, pengerahan kerja perkebunan ke tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggal, dan pekerjaan rodi di pabrik-pabrik yang tidak mendapatkan upah sangat memberatkan penduduk.
Pelaksanaan sistem tanam paksa menyebabkan tenaga kerja rakyat pedesaan menjadi semakin terserap baik ikatan tradisional maupun ikatan kerja bebas dan komersial. Sistem tanam paksa juga telah membawa dampak diperkenalkannya sistem ekonomi uang pada penduduk desa. Selain itu, akibat dari peningkatan produksi tanaman perdagangan banyak dilakuakan perbaikan atau pembuatan irigasi, jalan, dan jembatan.
2.      Bagian kedua : Perkembangan Perkebunan, 1870-1980-an
a.      BAB VI Perkembangan Perkebunan dam Periode 1870-1942
Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan ekonomi Belanda menginjak proses industrialisasi. Hal ini melatar belakangi munculnya liberalisme sebagai ideologi yang dominan di negeri Belanda. Sehingga berdampak pada penetapan kebijakan di negaeri jajahan. Sehubungan dengan itu, tahun 1870 merupakan tonggak baru sejarah yang menandai permulaan zaman baru bercorak ekonomi liberal.
Undang-undang agraria tahun 1870, menetapkan:
1)      Tanah milik rakyat tidak dapat diperjualbelikan dengan non-probumi.
2)      Disamping itu, tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau dapat dibeli oleh non pribumi untuk keperluan bangunan perusahaan
3)      Untuk tanah domain lebih luas ada kesempatan bagi non-pribumi memiliki hak guna, ialah:
a)      Sebagai tanah dan hak membangun (RVO)
b)      Tanah sebagai erfpacht (hak sewa serta hak mewariskan) untuk jangka waktu 75 tahun
Industrialisasi pertanian menuntut pembangunan infrastruktur yang lebih memadai, antara lain jalan raya, kereta api, irigasi, pelabuhan, telekomunikasi, dsb.
 b.      BAB VII Perkembangan Perusahaan Perkebunan, 1870-1914
Prinsip ekonomi liberal secara formal meberikan kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya dan dilain pihak menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan perusahaan perkebunan. Pada masa ini, insentif yang diterima oleh petani jauh lebih besar ketimbang pada saat tanam paksa.
Pada masa transisi terlihat jelas proses pergeseran dari usaha pemerintah ke swasta dengan penyusutan perkebunan milik pemerintah dan meluasnya perkebunan swasta. Komoditi yang memegang peranan penting adalah kopi, gula, teh, tembakau, teh, dan indigo. Hal ini dikarenakan banyaknya investor yang menanamkan modalnya di Hindia Belanda.
Politik etis yang terkenal dengan triadenya, emigrasi, edukasi, dan irigasi, mulai dijalankan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1901 sebagai politik kehormatan yang ditujukan untuk meningkatakan kesejahteraan rakyat dengan peningkatan pembangunan infrastruktur.
Perkembangan perkebunan pada masa ini memperlihatkan peningkatan terus, yang paling menonjol adalah peningkatan dari tahun 1905 hingga 1909.
c.       BAB VIII Perkembangan Perkebunan dari Perang Dunia I sampai Perang Dunia II (1914-1942)
Dekade terakhir menjelang pecahnya perang dunia I ditandai oleh kemajuan pesat berbagai perusahaan perkebunan. Laju perekonomian menunjukan konjungtur yang membumbung, maka pecahnya perang Dunia I menganggu kecenderungan itu. Permintaan akan komoditi di pasaran dunia mengalami perubahan karena disesuaikan dengan keperluan perang. Situasi perang sangat mengurangitransportasi dan produksi barang impor. Nilai pendapatan tidak berubah bahkan menurun hingga tahun 1921.
Sejak akhir abad ke-19, Belanda sengaja melaksanakan politik “pintu terbuka” sebagai akibat dari internasionalisasi perdagangan seperti Amerika dan Jepang yang mulai meningkatkan perdagangannya dengan Indonesia.
Pada akhir abad ke-19, perkebunan pribumi hanya 10% dari seluruh ekspor, manun meningkat menjadi 37% pada tahun 1939. Hal ini seiring dengan penetrasi ekonomi kapitalisme di Indonesia.
Menjelang krisis dunia pada tahun 1929, menunjukan angka peningkatan produksi perkebunan yang sangat meningkat. Di masa itu, secara tidak langsung merangsang kebutuhan masyarakat ke arah kehidupan mewah, sehingga konsumsi masyarakat meningkat. Hal ini siikuti oleh bertambahnya pendapatan pemerintah. Masa-masa sebelum krisis dianggap sebagai masa kejayaan perusahan perkebunan.
d.      BAB IX Dari Krisis Dunia sampai Perang Dunia II (1929-1942)
Krisis malaise yang terjadi pada tahun 1930-an menyebabkan harga-harga komoditi turun, sedangkan biaya produksi termasuk upah turunnya sangat lambat. Dalam menghadapi krisis itu, pemerintah Belanda menjalankan politik moneter yang berbeda, yaitu: 1. Menurunkan gaji dan upah, 2. Mengadakan pajak-pajak baru, 3. Menurunkan berbagai tarif.
Kesulitan yang dihadapi Hindia Belanda dalam melakukan ekspor dan impor, antara lain adalah sukarnya mencari daerah ekspor, bahkan muncul produsen baru untuk komoditi yang tadinya dikuasai oleh Indonesia.
Berdasarkan data yang ada, sejak tahun 1930 menunjukan semuanya menurun, jumlah pabrik, areal kebun tebu, volume produksi, dan nilai penghasilannya. Dalam hal ini, rakyat ikut menderita kerugian akibat berkurangnya sewa tanah, upah buruh dan pembayaran berbagai pelayaran.
Kedudukan Hindia Belanda sangat dipengaruhi oleh proses industrialisasi yang semakin meningkat di dunia barat, sehingga ada perubahan permintaan kebutuhan akan bahan dasar dan tidak lagi pada barang-barang mewah seperti rempah-rempah. Pihak Indonesia berusaha mencari outlet baru karena pasaran dalam negeri belum mampu menyerap berbagai produksi perkebunan.
Kedudukan komoditi lama masih di atas seperti kopi, gula, teh, karet, tembakau, dan kina. Sedang komoditi baru mulia memonopoli sepserti kopra.
Selama periode ini banyak pembatasan dan pengawasan yang dilakukan bagi perkebunan eropa sedang hal itu sulit diterapkan terhadap perkebunan rakyat.
e.       BAB X Masyarakat dan Kebudayaan Perkebunan
Kebanyakan perkebunan terletak di didaerah-daerah pegunungan dan terpencil. Masyarakatnya adalah multirasial yang terdiri dari atas bangsa Eropa, Cina dan Jawa. Golongan-golongan dalam komunitas baru belum terikat oleh ikatan solidaritas baru.
Pada umumnya, masa periode awal perusahaan perkebunan, lingkungan masyarakat yang terbatas nasih dikuasai oleh hubungan patrimonial sehingga masih ada suasana keakraban dan kekeluargaan. Dalam perkembangannya, muncullah kebutuhan akan menejemen yang rasional dan efisien sesuai dengan tujuan peningkatan produktivitas setinggi-tingginya.
Pengaruh pemerintah kolonial tidak banyak menyentuh masyarakat perkebunan, ada keseganan dan sikap kurang mempedulikan. Posisi kaum pemerintah kurang berwibawa terhadap kaum perkebunan, sehingga banyak keadaan yang kurang beres di perkebunan dibiarkan dan tidak ada usaha menegakkan kekuasaan pemerintah.
Dalam mencari hiburan, kaum Eropa berkumpul di scieteituntuk minum-minum, dansa-dansi, main kartu, bilyar, dsb. Kaum Eropa mereka memandang rendah golongan pribumi dan kontak terbatas pada hubungan kerja. Perbedaan yang sangat mencolok dengan kaum pekerja menyebabkan dualisme ekonomi. Dalam kondisi yang serba berat, secara fisik pekerja dieksploitasi secara maksimal menyebabkam mereka menghibur diri dengan berjudi, menghisap candu, melacur yang menjerumuskan mereka kedalam ikatan pinjaman dengan bunga yang tinggi.
f.       BAB XI Periode 1942-1955
Periode ini mencakup zaman pendudukan Jepang, zaman revolusi dan zaman republik Indonesia.
Selama pendudukan Jepang segala lapangan kegiatan ditujuan untuk menopang usaha perang. Untuk memenuhi kebutuhan bahan panganan terutama beras, diadakan wajib setor. Namun, hal ini banyak sekali hambatannya, sehingga perkebunan banyak yang terlantar. Adapula yang dihentikan usahanya.
Dalam periode 1949-1950, di daerah RI hanya tinggal beberapa pabrik gula yang masih beroperasi. Sedangkan tembakau dan lainnya hanya melayani konsumsi dalam negeri. Disamping itu banyak gangguan keamanan oleh gerombolan liar. Hal inilah yang menjadi faktor mengapa penanam modal tidak tertarik menanamkan modalnya secara besar-besaran di Indonesia.
Sejak berdirinya, RI menghadapi keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan antara lain mewarisi keuangan federal dan RI Yogyakarta dengan defisit besar, inflasi kuat, ketidakseimbangan antara ekspor dan  impor. Indonesia telah kehilangan sebagian besar pasarannya sebelum perang ditambah dengan pemulihan perkebunan yang lambat menyebabkan perkebunan sangat jauh tertinggal.
Beberapa gejala yang menggembirakan ialah munculnya gerakan koperasi, pembangunan pedesaan, kelompok wiraswastawan dan badan usaha pribumi, antara lain Yayasan Kopra dan TNV. Komoditi pekebunan yang paling dapat bertahan adalah karet.
Sebagai dampak dari Perang Dunia II, perkebunan pada umumnya mengalami kerusakan berat, maka diperlukan usaha pemugaran secara besar-besaran. Berdasarkan Ketentuan Perundiangan Meja Bundar akhir 1949, perkebunan milik pemerintah kolonial diambil alih oleh pemerintah RI.

g.      BAB XII Periode 1956-1980-an
Periode ini mencakup perkembangan perkebunan di bawah penanganan Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN-Baru) dan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Perkembangan perkebunan pada periode ini  tidak telepas dari pengaruh perubahan dan perkembangan kehidupan politik dan sistem perekonomian yang berlaku selama itu di Indonesia.
Pada tahun 1957-1960, kebijaksanaan Ekonomi Terpimpin besar pengaruhnya terhadap perubahan kebijaksanaan di sektor perekonomian. Antara lain Deklarasi Ekonomi memberikan pengaruh penting terhadap langkah-langkah kebijaksanaan pemerintah dalam sektor perekonomian. Pengambilalihan perusahaan milik Belanda oleh pemerintah seperti perusahaan swasta perkebunan milik Belanda diambil alih oleh pemerintah pada 10 Desember 1957. Perusahaan ini tidak digabungkan dalam PPN yang sebelumnya ada melainkan digabungkan dalam PPN Baru.
Pada tahun 1968 terjadi penciutan jumlah PPN dari 88 menjadi 28 buah, penghapusan BPU (PP. No.13, tanggal 27 Maret 1968), pembentukan Perusahaan Negara Perkebuna (PNP), selanjutnya diikuti dengan penetapan pembentukan Badan Khusus Urusan Perusahaan Negara (BKU-PN) pada tahun 1969 yang menetapkan pemisahan antara Ditjen Perkebunan dengan BKU-PNP.
Perkembangan sesudah tahun 1980-an menunjukan bahwa sektor perkebunan masih tetap merupakan salah satu sumber perekonomian negara. Kebijaksanaan pemerintah untuk mengalihkan prosuksi ekspor migas ke non migas telah mengokohkan kembali keberadaan perkebunan di Indonesia. Upaya pembinaan dan pelestarian melalui berbagai model dan pendekatan sepserti Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dilaksanakan.

C.    Analisa Isi Buku
Perkembangan perkebunan di Indoensia, secara garis besar telah dijelaskan dalam buku berjudul “Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian Sosio-kultural” yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. Buku ini merupakan buku yang ditulis bersamaan dengan buku-buku komoditas perkebunan yang merupakan kerja sama antara Departemen Pertanian dengan Pusat Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) Universitas Gadjah Mada.
Buku Sejarah Perkebunan di Indonesia menggunakan pendekatan Sosio Kultural. Pendekatan sosio kultural sangat penting untuk menjelaskan struktur kehidupan sebuah masyarakat. Menjelaskan bagaimana sebuah kondisi terjadi akibat organisasi masyarakta yang ada di daerah trsebut. Pendekatan inilah yang digunakan oleh Sartono dan Djoko Suryo dalam menjelaskan sistem perkebunan di Indonesia dengan berbagai permasalahan yang dialami baik dari segi produksi maupun konflik yang terjadi antara pekerja dengan pemilik perkebunan.
Sartono Kartodirdo dan Djoko Suryo dalam kata pengantarnya menyebutkan bahwa buku ini adalah ranguman dari perkembangan perkebunan di Indonesia. Pembahasan mengenai periode yang sangat panjang dijelaskan dengan uraian yang singkat, lugas dan mudah dimengerti oleh pembaca.
Buku ini memberikan gambaran tentang latar belakang historis sehingga perkembangan perkebunan dewasa ini dapat dipahami sebagai kelanjutan perkembangan masa kolonial. Dalam dinamika perkebunan di Indonesia, pasang surut perusahaan dapat dilihat dari naik turunnya produksi.
Buku ini terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama membahas tentang awal pertumbuhan perkebunan di Indonesia dari tahun 1600 hingga 1870. Bagian kedua membahas tentang perkembangan perkebunan tahun 1870 hingga 1980-an.
Diawal pertumbuhann perkebunan di Indonesia ditandai dengan masuknya kekuatan kolonial ke Nusantara. Praktek-praktek perkebunan mulai diperkenalkan. Perkebunan dijadikan sebagai lahan pertanian utama dalam menghasilkan devisa negara saat itu. VOC sebagai kongsi perdagangan mulai memonopoli perdagangan di Nusantara. Keberadaan VOC yang dahulunya sebagai kongsi dagang berubah menjadi penguasa teritorial. Para petani diwajibkan untuk menyetor bahan-bahan dasar dari hasil pertanian, seperti beras, kopi, dan gula kepada penguasa VOC. Pada tahun 1800, kekuasaan VOC digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penguasa baru ini menetapkan Cultuur Stelselatau Sistem Tanam Paksa pada tahun 1830 sebagai akibat dari kekosongan kas negara. Negara jajahan dieksploitasi untuk menghasilkan devisa bagi negara induk. Seiring dengan perkembangan itu, di negara jajahan dibangun sarana komunikasi seperti kereta api, komunikasi, jalan raya dan infrastruktur lainnya sebagai penunjang kegiatan eksploitasi ini.
Sejak 1850, pasaran dunia mengalami kemajuan pesat. Namun perkembangan liberalisme Eropa menyebabkan Belanda juga mengidap faham liberalisme. Perubahan politik dan ideologi di negara induk menyebabkan berubah pula kebijakan-kebijakan di negara jajahan. Di negara jajahan dilaksanakannya sistem perekonomian liberal dengan dibuka seluas-luasnya perekonomian bagi investasi swasta di Hindia Belanda. Ditunjang dengan adanya Undang-Undang Agraria tahun 1870, membuka kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut andil dalam perekonomian negara. Sejak tahun 1870, pembangunan yang dilaksanakan dan industrialisasi yang yang terjadi di Nusantara telah membawa Indonesia ke ambang pintu modernisasi. Selain itu pembukaan terusan Suez, telah membuka akses anatra Indonesia dengan Eropa.
Sejak terjadinya resesi dunia pada tahun 1930, perkembangan perkebunan di Indonesia lebih terarah kepada pasaran dalam negeri. Namun, kegiatan ekspor pertanian masih memegang peranan penting seperti 10% di Jawa dan 20% di Sumatera.
Dengan pecahnya Perang Dunia II, perusahaan perkebunan yang terutama terarah kepada ekspor dan kebutuhan dunia, mau tidak mau mengalami kemunduran. Pasaran itu terputus atau merosot akibat Perang. Setelah pereng selesai, Indonesia melakukan revolusi selama lima tahun sehingga tidak mampu memulihkan perusahaan perkebunan. Setelah Revolusi, suasana politik sejak 1950 menimbulkan  hambatan untuk pemulihan kedudukan perkebunan. Pada tahun 1980-an kebijaksanaan pemerintah untuk mengalihkan produksi ekspor migas ke non-migas sebagai sumber devisa negara telah mengokohkan kembali keberadaan perkebunan di Indoensia.
a)      Kondisi Sosial Masyarakat
Budaya masyarakat perkebunan yang terlihat di masyarakat Deli, Sumatera Utara, banyak menampilkan karakteristik yang juga dijumpai diperkebunan Jawa yang sejenis. Baik lokasi, isolasi dan otonomi komunitasnya, dualisme ekonomi kolonial, pluralisme sosialnya, hegemoni pengusaha eropa, eksploitasi tenaga  sejenis dengan perkebunan di Jawa. 
Perbedaan antara taraf hidup golongan Eropa dengan taraf hidup pribumi amat mencolok, manun karena kesadaran akan diskriminasi belum berkembang, maka rakyat menerima saja perbedaan yang mencolok itu. Namun, dengan keadaan yang terisolasi itu  membuat pemerintah kolonial tetap memberikan kemudahan seperti edukasi, transportasi, komoditi, hiburan, dan berbagai pelayanan bagi bangsa Eropa.
Selama ada kontak antara pekerja dengan pengusaha atau seperti partron-client tidak akan timbul ketegangan-ketegangan. Titik-titik  yang mudah menimbulkan konflik ialah masalah penggunaan lahan, terutama persawahan, khususnya mengenai areal lahan dan waktu. Ketidaksesuaian itu mudah menimbulkan konfrontasi berdarah seperti kasus Gedangan tahun 1904.
Pada masa lampau, perkebunan berfungsi sebagai sumber produksi yang menghasilkan berjuta-juta kepada pemerintah Kolonial, namun dari dana yang diperoleh itu sedikit sekali yang digunakan untuk membanguan daerah ajjahan. Dengan demikian terjadi keadaan yang sangat berbeda antara perkebunan dan daerah sekitarnya. Hal ini juga dikarenakan golongan Eropa mulai terarah ke kota untuk mencari hiburan atau rekreasi. Kota-kota Bandung, Malang, Medan berkembang pesat karena menjadi pusat pemukiman dan pelayanan bagi kaum perkebunan.
Untuk keperluan pegawai pabrik, disediakan berbagai fasilitas seperti sekolah, rumah sakit, tempat rekreasi yang juga terbuka bagi masyarakat di sekitarnya.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah kolonial telah mengintegrasikan rakyat pedesaan dengan masyarakat pabrik bukan malah mengisolasinya. Sekaligus trickle down keuntungan perusahaan dapat mencapai rakyat sekitarnya.
“Tidak ada gading yang tak retak” begitulah perumpamaan yang biasa dikatakan tentang kelebihan dan kekuarangan seseorang. Begitu juga sebuah buku yang ditulis, juga memiliki kekurangan dan kelebihan. Saya akan coba membahas keduanya.
1.      Kelebihan Buku
Ada beberapa kelebihan yang terdapat dalam buku yang sedang saya baca dan saya buat ringkasannya ini yang membuat saya tertarik untuk membahasnya satu persatu.
Pertama, dalam penulisan sejarah di Indonesia sangat sedikit buku-buku yang membahas tentang sejarah ekonomi. Namun, Sartono dan Djoko Suryo mencoba membahas tentang Sejarah perekonomian Indonesia dengan mengkhususkan bidangnya pada sektor perkebunan. Sejarah ekonomi yang dipandang sebagai sejarah yang menyajikan angka-angka semata, di tangan kedua penulis ini, sejarah perekonomian menjadi semakin menarik dengan disertakannya analisis-analisis dari data-data yang disajikan.
Kedua, buku ini memaparkan perkembangan perkebunan di Indonesia pada rentang waktu yang sangat panjang yaitu sebelum masa kolonial pada abad ke-16 hingga tahun 1980-an. Masa yang negitu panjang, sekitar empat abad lamanya. Namun, buku ini mampu menjawab tantangan itu dengan menyajikannya dalam bahasa yang enak dan mudah dimengerti oleh sejarawan bahkan oleh masyarakat umum yang ingin mengetahui sejarah perkebunan masa lampau.
Ketiga, dalam setiap bab yang disajikan dalam buku ini, penulis juga menyertakan data-data yang mendukung sehingga mempertajam analisis yang dipaparkan oleh penulis di setiap bab nya. Meski data-data yang digunakan adalah data sekunder, tetapi buku ini memberikan penjelasan yang jelas mengenai kondisi perkebunan pada masa itu.
2.      Kekurangan Buku
Ada beberapa kekuarangan dalam buku ini, diantaranya adalah:
Pertama, buku ini berjudul “ Sejarah Perkebunan Di Indonesia: kajian Sosial-Ekonomi”. Pendekatan sosial tang dilakukan dalam buku ini dinilai kurang. Kurang terlihat dinamika kehidupan masyarakat perkebunan, karena yang dibahasa adalah komunitas besar dalam masyarakat Indonesia. Konflik-konflik yang terjadi di masyarakat pekebunan tidak terlalu menonjol dibahas dalam buku ini.
Kedua, meski rentang waktu yang begitu lama menjadi salah satu kelebihan dalam buku ini, tetapi hal ini bisa menjadi kekuarangan dalam buku ini. Uraian singkat yang disajikan dalam setiap periode yang disajikan dalam buku ini menjadikan buku ini hanya buku rujukan umum, bukan rujukan khusus mengenai detail peristiwa. Rincian yang kurang mendetail ini pantas lah memang Sartono dan Suryo menyebut buku ini sebagai rangkuman saja.
Ketiga, data yang digunakan dalam buku ini adalah data sekunder. Misalnya data-data yang diambil dalam buku karangan D.H. Burger yang berjudul “Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia”. Meski karya itu merupakan karya akademin Burger, tetapi harusnya penulis menelusuri kembali kebenaran data yang disajikan oleh sumber sekunder. Pada bab XI dan XII, bahkan sedikit sekali penjelasan mengenai perkebunan masa itu.
Keempat, pemaparan tentang kondisi masyarakat perkebunan, aktivitas, dan  masalah-masalah yang timbul tidak dijelaskan dengan rinci. Meskipun telah dijelaskan dalam satu bab khusus, tertapi ini kurang. Seperti buku Sartono mengenai Pemberontakan Petani Banten 1888 yang menjelaskan tentang struktur masyarakat Banten pada masa itu untuk menjelaskan pemberontakan besar yang terjadi di tanah perkebunan. Pemberontakan-pemberontakan itu terjadi akibat akumulasi kejengkelan serta ketimpangan ekonomi yang diperlihatkan oleh pemerintah lokal kepada pekerja.
Kelebihan dan kekurangan yang saya paparkan di atas merupakan pandangan seorang mahasiswa sejarah yang belum mengetahui banyak hal mengenai seluk beluk perekonomian dan sejarah agraria di Indonesia.
D.    Penutup
a.      Kesimpulan
Sistem kebun sebenarnya sudah dikenal dalam masyarakat tradisional di Nusantara sebagai sistem perkebunan sampingan, mengingat kehidupan petani saat itu bersifat subsisten. Sistem kebun dilakukan ketika sistem pertanian pokok telah dilakukan, sehingga waktu yang tersisa digunakan untuk menggarap kebun. Sistem perkebunan mulai muncul ketika datangnya ekspansi bangsa Eropa ke Nusantara pada abad ke-16. Mereka mulai memperkenalkan sistem perkebunan sebagai sistem yang prospektif dengan keuntungan yang besar, modal yang besar, lahan yang besar, serta pengorganisasian yang rapih. Seiring dengan datangnya kolonialisme ke Nusantara, masyarakat Indonesia diperkenalkan cara-cara modern dalam mengolah lahan pertanian.  Penanaman tanaman perkebunan berorientasi pasar dunia. Sehingga kebutuhan pasar dunia mempengaruhi jenis tanaman yang ditanam. Dalam perkembangannya bangsa Eropa (Belanda) mampu menancapkan kuku kekuasaanya di Nusantara dan mengunakan cara-cara paksaan untuk mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja yang dimiliki oleh Hindia Belanda. Kondisi ini sungguh memprihatinkan dimana telah terjadi ketimpangan sosial antara komunitas para petani tradisional yang bersifat subsisten dan komunitas pertanian modern yang disebut sebagai ‘dualisme perekonomian’.
Sekitar tahun 1950-an berdasarkan amanat sidang Konferensi Meja Bundar akhir tahun 1949, perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda mulai diambil alih oleh pemerintah RI. Namun, setelah masa revolusi selesai susana politik sejak tahun 1950 menimbulkan hambatan untuk memulihkan kedudukan perkebunan. Hingga tahun 1980-an, kedudukan perkebunan sebagai salah satu sektor pertanian negara masih dipertahankan. Namun, kedudukannya sebagai primadona devisa negara telah surut.
b.      Saran
           Saya menyarankan agar pembaca membaca buku ini. Bukua berjudul “Sejarah Perkebunan Di Indonesia: Kajian Sosio-Ekonomi” ini dapat menjadi salah satu rujukan tentang gambaran perkembangan perkebunan di Indonesia. Buku ini juga dapat dibaca tidak hanya oleh sejarawan, tetapi juga bagi mereka yang membutuhkan pengetahuan mengenai perkembangan perkebunan di Indonesia.  Penulisan sejarah perkebunan yang ditulis oleh Sartono dan Djoko Suryo ini adalah pamicu bagi karya-karya sejarah perkebunan yang lainnya., kedudukannya sebagai primadona devisa negara telah surut.
b.      Saran
           Saya menyarankan agar pembaca membaca buku ini. Bukua berjudul “Sejarah Perkebunan Di Indonesia: Kajian Sosio-Ekonomi” ini dapat menjadi salah satu rujukan tentang gambaran perkembangan perkebunan di Indonesia. Buku ini juga dapat dibaca tidak hanya oleh sejarawan, tetapi juga bagi mereka yang membutuhkan pengetahuan mengenai perkembangan perkebunan di Indonesia.  Penulisan sejarah perkebunan yang ditulis oleh Sartono dan Djoko Suryo ini adalah pamicu bagi karya-karya sejarah perkebunan yang lainnya.

6 komentar:

  1. artikel yang luar biasa like this

    BalasHapus
  2. Terima kasih agan" sekalian..
    semoga bermanfaat bagi para pembaca :)

    BalasHapus



  3. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

    Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

    saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Pembayaran yang fleksibel,
    Suku bunga rendah,
    Layanan berkualitas,
    Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

    Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

    Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

    BalasHapus
  4. Saya SEKARANG FULFILL BERHARGA KERUGIAN DARI PINJAMAN I GOT DARI LFDS. Saya ingin membawa ini kepada notis orang ramai tentang bagaimana saya menghubungi LFDS selepas saya kehilangan pekerjaan saya dan ditolak pinjaman oleh bank saya dan kewangan lain institusi kerana skor kredit saya. Saya tidak dapat membayar yuran anak saya. Saya tertinggal di atas bil, kira-kira akan dibuang keluar rumah kerana saya tidak dapat membayar sewa saya. Pada masa ini, anak-anak saya diambil dari saya oleh penjagaan angkat. Kemudian saya berikan untuk mencari dana dalam talian di mana saya kehilangan $ 3,670 yang saya dipinjam dari rakan-rakan yang saya telah merobek oleh dua syarikat pinjaman dalam talian. Sehingga saya membaca tentang: Perkhidmatan Pembiayaan Le_Meridian (lfdsloans@outlook.com / lfdsloans@lemeridianfds.com) di suatu tempat di internet, Masih tidak meyakinkan kerana apa yang saya telah lalui sehingga saudara saya yang seorang paderi juga memberitahu saya mengenai skim pinjaman LFDS yang berterusan pada kadar faedah yang sangat rendah sebanyak 1.9 %% dan terma pembayaran balik yang indah tanpa penalti kerana gagal bayar pembayaran. Saya tidak mempunyai pilihan selain menghubungi mereka yang saya lakukan melalui teks + 1-989-394-3740 dan Encik Benjamin menjawab kembali kepada saya Hari itu adalah hari yang terbaik dan paling hebat dalam hidup saya yang tidak boleh dilupakan apabila saya menerima amaran kredit $ 400,000.00 Jumlah pinjaman kami yang dipohon. Saya menggunakan pinjaman dengan berkesan untuk membayar hutang saya dan memulakan perniagaan dan hari ini saya dan anak-anak saya sangat gembira dan memenuhi. Anda juga dapat menghubungi mereka melalui e-mel: (lfdsloans@outlook.com / lfdsloans@lemeridianfds.com) Helaian WhatsApptext: + 1-989-394-3740 Mengapa saya melakukan ini? Saya melakukan ini untuk menyelamatkan seberapa banyak yang memerlukan pinjaman tidak menjadi mangsa penipuan di internet. Terima kasih dan Tuhan memberkati anda semua, saya Oleksander Artem dari Horizon Park BC, Ukraine.

    BalasHapus
  5. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus